Selasa, 06 Oktober 2009

Recording studio di Jogja menggeliat

JOGJA: Recording studio atau studio rekaman saat ini tak hanya dijumpai di Jakarta atau Bandung. Di beberapa kota, termasuk di Jogja, juga mulai bermunculan. Sebut saja Bridge, Studio Reds, Rock Star, White Horse dan banyak lagi.

Studio rekaman biasanya mempunyai spesialisasi musik tersendiri. Ada yang fokus pada dangdut, campursari, pop, atau rock. Namun studio Bridge yang berlokasi di Griya Perwita Asri, Ring Road Utara, itu tak memiliki spesialisasi.

Semua band dengan genre musik berbeda-beda bisa melakukan proses rekaman di studio itu. “Tapi grup band yang datang ke sini biasanya aliran pop atau rock alternatif ,” ujar Kenonus Hasianda, pemilik Bridge.
Perkembangan industri rekaman di Jogja, menurut Keno, sangat pesat, bisa dilihat dari banyaknya band indie baru yang merekam demo untuk lagunya. Puncak booming geliat rekaman para indie ini, kata Keno, terjadi khususnya saat digelar acara Dreamband yang digelar stasiun TV7 2004-2005 lalu.

“Waktu ada Dreamband itu kan seolah-olah ada jalur yang mendukung untuk bisa membuat band terkenal. Jadi banyak grup-grup baru yang ke sini untuk rekaman,” kenang alumni Universitas Atma Jaya jurusan Teknik Sipil itu.
Saat ini, meski tak seramai momen dreamband, semangat produksi dari indie band yang ada di Jogja masih sangat tinggi. “Kadang mereka tak rekaman langsung seluruh lagu dalam satu album, hanya satu dua lagu saja dan mematangkannya,” imbuhnya.

Hal hampir senada diungkapkan Ari Putro, operator Rock Star studio di Condong Catur. Intensitas produksi band indie pemula juga banyak mengandalkan jasa studio yang baru berdiri April 2008 lalu itu.

“Saya nggak mengira antusiasme band indie masih tinggi. Dalam sebulan ada 15-20 band mixing di sini,” tutur Ari. Pria berambut sebahu ini menganggap tingginya produktivitas band indie disebabkan kuatnya idealisme para indie di Jogja.

Meski produktivitas untuk mixing, baik demo atau produksi masih tinggi, kadang para indie kebingungan setelah produksi. “Produksi itu memang mudah, yang susah setelah itu,” kata Keno.

Baik Keno atau Ari menganggap, kebingungan setelah produksi ini disebabkan beberapa faktor. Pertama, minimnya industri label yang ada di Jogja. Kedua, rata-rata player di Jogja mahasiswa, sehingga waktu untuk pemasaran albumnya banyak terhambat.

“Keadaan yang mepet bisa menjadi seleksi alam yang menguji solid tidaknya suatu band. Kita bisa contoh itu dari Shaggy Dog, yang memulai semuanya juga dari ‘gerilya’. Hingga sekarang mereka solid luar biasa” kata Keno. (Pribadi Wicaksono)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar